Serat Tripama (tiga suri tauladan)
adalah karya KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) dei Surakarta, yang ditulis
dalam tembang Dhandanggula sebanyak 7 pada
(bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna
dan Suryaputra (Adipati Karna)
Patih Suwanda
Bambang Sumantri yang setelah menjadi patih disebut “Patih
Suwanda” adalah Patih dari Raja Harjunasasrabahu dari negara Maespati pada era
sebelum Sri Rama tokoh dalam kisah Ramayana. Patih Suwanda termasyhur dalam
kegagahberaniannya, mampu melaksanakan semua tugas dari Prabu Harjunasasrabahu
dengan penuh tanggungjawab dan akhirnya gugur di palagan melawan Dasamuka.
Apa yang diserat oleh Sri
Mangkunegara IV dalam tembang Dhandanggula pada (bait) ke satu dan ke dua
adalah sebagai berikut:
Yogyanira kang
para prajurit; Lamun bisa sira anulada; Duk ing nguni caritane; Andelira Sang
Prabu; Sasrabahu ing Maespati; Aran patih Suwanda; Lalabuhanipun; Kang ginelung
triprakara; Guna kaya purun ingkang den antepi; Nuhoni trah utama
Lire lalabuhan triprakawis; Guna bisa saniskareng karya; Binudi dadya unggule; Kaya sayektinipun; Duk bantu prang Manggada nagri; Amboyong putri dhomas; Katur ratunipun; Purune sampun tetela; Aprang tanding lan ditya Ngalengka nagri; Suwanda mati ngrana.
Lire lalabuhan triprakawis; Guna bisa saniskareng karya; Binudi dadya unggule; Kaya sayektinipun; Duk bantu prang Manggada nagri; Amboyong putri dhomas; Katur ratunipun; Purune sampun tetela; Aprang tanding lan ditya Ngalengka nagri; Suwanda mati ngrana.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Seyogyanya para prajurit; Semua bisa
meniru; Seperti ceritera pada jaman dulu; Andalan sang raja; Sasrabahu di
negara Maespati; Namanya Patih Suwanda; Jasa-jasanya; Dikemas dalam tiga hal;
Pandai, mampu dan berani (Guna, Kaya, Purun), itulah yang dipegang teguh; Menetapi keturunan orang utama.
Artinya dharmabakti yang tiga hal itu; Guna: bisa
menyelesaikan masalah; Berupaya untuk memperoleh kemenangan; Kaya: ketika
peperangan di negara Manggada; Bisa memboyong putri dhomas; Diserahkan kepada
sang raja; Purun: Keberaniannya sudah nyata ketika perang tanding (dengan
Dasamuka) raja Ngalengka; Patih Suwanda gugur di medan perang.
Adapun kesimpulan nilai kepahlawanan
Patih Suwanda dinilai dari tiga hal, yaitu: Guna, Kaya dan Purun.
GUNA: Nuhoni trah utami dalam hal ini adalah menetapi
keturunan orang utama, yaitu ksatria dengan sifat-sifat ksatrianya yang mampu
menyelesaikan masalah. Unggul dalam segala hal.
KAYA: Disini disebutkan dalam
peperangan berhasil memboyong putri Dhomas (penafsiran disini tidak hanya
memboyong putri domas yang 800 jumlahnya tetapi juga harta rampasan perang)
PURUN: Kegagahberaniannya. Dasamuka adalah raja yang
tidak tertandingi kesaktiannya kecuali oleh titisan Wisnu (yang tak lain adalah
Prabu Harjuna Sasrabahu sendiri, tapi saat itu sang Prabu sedang bercengkerama
dengan istri-istrinya). Patih Suwanda berperang sampai titik darah penghasilan
dan gugur di palagan.
Kumbakarna
Kumbakarna adalah adik dari Prabu Dasamuka raja
Ngalengkadiraja (Alengka), walaupun berbentuk raksasa tetapi tidak mau
membenarkan tindakan kakaknya yang angkara murka dengan menculik Dewi Shinta.
Walaupun demikian pada saat kerajaan Ngalengkadiraja diserang oleh musuh, yaitu
Sri Rama dan pasukannya, Kumbakarna memenuhi panggilan sifat ksatrianya,
mengorbankan jiwa untuk membela tanah air. Kumbakarna gugur membela negara,
bukan membela kakaknya. Kumbakarna adalah salah satu pelaku dalam kisah
Ramayana.
Apa yang dirakit oleh Sri Pakubuwana
IV dalam Sekar Dhandanggula pada (bait) ke tiga dan empat adalah sebagai
berikut:
Wonten malih tuladan prayogi; Satriya gung nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, Tur iku warna diyu; Suprandene nggayuh utami; Duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur; Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan keguh ing atur yekti; Dene mengsah wanara.
Wonten malih tuladan prayogi; Satriya gung nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, Tur iku warna diyu; Suprandene nggayuh utami; Duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur; Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan keguh ing atur yekti; Dene mengsah wanara.
Kumbakarna kinen mangsah jurit; Mring kang raka sira tan lenggana; Nglungguhi kasatriyane; Ing tekad datan purun; Amung cipta labuh nagari; Lan noleh yayah rena; Nyang leluhuripun; Wus mukti aneng Ngalengka mangke; Arsa rinusak ing bala kapi; Punagi mati ngrana.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ada lagi tauladan yang baik; Satria
agung dari negara Ngalengka; Sang Kumbakarna namanya; Walaupun wujudnya
raksasa; Walau demikian ingin mencapai keutamaan; Ketika dimulainya perang
Ngalengka; Ia menyampaikan pendapat; Kepada kakaknya (Prabu Dasamuka supaya (Ngalengka)
selamat; Dasamuka tidak mau mendengar pendapat baik; Karena hanya melawan
(balatentara) kera.
Kumbakarna diperintah maju perang; Kepada kakaknya ia tidak
membantah; Karena menetapi sifat ksatria; (sebenarnya) Tekadnya tidak mau;
Hanya semata-mata bela negara; Dan melihat bapak ibunya; Serta leluhurnya;
Sudah hidup mukti di negara Ngalengka; Sekarang mau dirusak balatentara kera;
Bersumpah mati di medan perang.
Kesimpulannya adalah:
Walaupun Kumbakarna berwujud raksasa ia tetap ingin mencapai
keutamaan. Ketika terjadi peperangan ia berkali-kali menasihati kakaknya demi
keselamatan kerajaan Ngalengka, tetapi Dasamuka tidak pernah menggubrisnya.
Akhirnya Kumbakarna memilih menyingkir, dan bertapa tidur. Ketika
senapati-senapati Ngalengka sudah pada gugur, maka Kumbakarna dibangunkan paksa
dan diperintah kakaknya untuk maju perang. Menetapi watak ksatrianya,
kumbakarna tidak membantah. Tekadnya hanya bela negara dan demi nenek moyangnya
yang telah mukti di negara ngalengka dan sekarang akan dihancurkan wadyabala
kera. Lebih baik mati di medan perang dan akhirnya Kumbakarna gugur sebagai
pahlawan.
Adipati Karna (Suryaputra)
Adipati Karna adalah tokoh
dalam Mahabharata. Ia tidak membela
Pandawa yang saudara satu ibu melainkan membela Prabu Suyudana (Kurupati) raja
Hastina untuk membalas budi baik sang raja yang telah mengangkat derajatnya.
Adipati Karna yang saat kelahirannya dibuang di sungai kemudian ditemu dan
diangkat anak oleh kusir Adirata, dijadikan adipati oleh Prabu Suyudana. Oleh
sebab itu dalam perang besar Bharatayuda Adipati Karna berada di pihak Kurawa
yang ia tahu bahwa Kurawa adalah pihak yang angkara murka. Sang Suryaputra
gugur dalam perang tanding melawan Harjuna, adiknya, satu ibu.
Apa yang dirakit oleh Sri Pakubuwana IV dalam Sekar
Dhandanggula pada (bait) ke lima dan enam adalah sebagai berikut:
Wonten malih kinarya palupi; Suryaputra narpati
Ngawangga; Lan Pandawa tur kadange; Len
yayah tunggil ibu; Suwita mring Sri Kurupati;
Aneng nagri Ngastina; Kinarya gul-agul; Manggala golonganing prang;
Bratayuda ingadegken senopati; ngalaga ing Kurawa.
Den mungsuhken
kadange pribadi; Aprang tanding lan Sang Dananjaya; Sri Karna suka manahe; Dene
nggenira pikantuk; Marga denya arsa males sih; Ira Sang Duryudana; Marmanta
kalangkung; Denya ngetok kasudiran; Aprang rame Karna mati jinemparing, Sumbaga
wiratama.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ada lagi yang dapat dijadikan
teladan; Suryaputra Senapati dari Ngawangga; Dengan Pandawa masih saudara; Lain
bapak satu ibu; Mengabdi pada Sri Kurupati; Di Negara Ngastina; Dijadikan
andalan; Panglima di dalam perang; Diangkat senapati dalam perang Bharatayuda;
Berperang di pihak Kurawa.
Dihadapkan dengan saudaranya sendiri; Perang tanding melawan
Dananjaya; Sri Karna senang sekali hatinya; Karena bisa memperoleh; Jalan untuk
membalas budi; Sang Duryudana; Maka ia dengan sangat; Mengeluarkan semua
kesaktiannya; Perang ramai dan Karna gugur kena panah; Termasyhur sebagai
prajurit yang utama.
Kesimpulannya adalah:
R Suryaputra adalah Adipati di Ngawangga, dengan
Pandawa masih saudara satu ibu lain bapak (Ayahnya adalah Batara Surya). Sejak
lahir sampai dewasa tidak hidup bersama Pandawa, tetapi dipelihara kusir
Adirata. Karena kesaktian dan kesetiaannya oleh Prabu Duryudana diberikan
derajat yang tinggi. Menjelang perang Bharatayuda Karna dibujuk oleh ibunya
untuk berperang dipihak Pandhawa. Tetapi Karna berkeras bahwa walaupun Pandhawa
masih saudara dan berada di pihak yang benar, tetapi sebagai ksatria ia harus
membela raja yang telah mengangkat derajatnya. Dalam perang tanding dengan
Harjuna yang dalam pedhalangan Jawa menjadi satu lakon tersendiri “Karna
Tanding” Karna mendapat kesempatan untuk membalas budi rajanya. Ia berjuang
mati-matian dan akhirnya gugur di medan laga kena panah R Harjuna (Dananjaya)
KGPAA Mangkunegara IV menutup Serat Tripama pada pada (bait)
ke tujuh tetap dengan Sekar Dhandanggula sebagai berikut:
Katri mangka
sudarsaneng Jawi; Pantes lamun sagung pra prawira; Amirata sakadare; Ing lelabuhanipun; Awya
kongsi buang palupi; manawa tibeng nista;
Ing estinipun; Senadyan tekading budya; Tan prabeda budi panduming
dumadi; Marsudi ing kotaman.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ketiga pahlawan tersebut adalah
teladan orang Jawa; Sepantasnya semua perwira; Meneladani semampunya; Tentang
dharmabhaktinya; Jangan sampai membuang keteladanan; Bisa menjadi hina; dalam
cita-citanya; Walau itu tekad pada jaman
dulu; Tidak berbeda budi para manusia; Mencari keutamaan
Kesimpulannya adalah:
Ketiga pahlawan tersebut berada pada
jaman yang berbeda dengan keteladanan yang berbeda pula. Sri Mangkunegara IV
berpesan supaya kita meneladani apa yang telah dilakukan ketiganya semampunya.
Janganlah kita membuang contoh baik tersebut dalam mencari dan menetapi
keutamaan seorang ksatria.
Secara keseluruhan, Patih Suwanda dikenal dengan kautaman triprakaranya: “Guna, Kaya dan Purun”, kepandaian dan ketrampilan, kecukupan sebarangnya serta keberaniannya. Sedangkan Kumbakarna mengedepankan “Bela negara” mungkin ini yang kita kenal dengan “Right or wrong my country”. Adapun Adipati Karna dikagumi karena kesetiaan dan komitmennya: “Setya mring sedya”, berani mengorbankan segala-galanya demi mempertahankan loyalitas dan komitmen walaupun ia sadar sepenuhnya bahwa yang dia bela adalah pihak yang salah.
Secara keseluruhan, Patih Suwanda dikenal dengan kautaman triprakaranya: “Guna, Kaya dan Purun”, kepandaian dan ketrampilan, kecukupan sebarangnya serta keberaniannya. Sedangkan Kumbakarna mengedepankan “Bela negara” mungkin ini yang kita kenal dengan “Right or wrong my country”. Adapun Adipati Karna dikagumi karena kesetiaan dan komitmennya: “Setya mring sedya”, berani mengorbankan segala-galanya demi mempertahankan loyalitas dan komitmen walaupun ia sadar sepenuhnya bahwa yang dia bela adalah pihak yang salah.
makasih banget yaa
BalasHapus